Dan kami hampir tak mengenal apa-apa kini
Suara-suara yang menabrak sukma hari ini
Di penuhi muatan basa-basi, dan rasa sakit hati
Sebab kami tak lagi mengenal bahasa
Dan meninggalkan majelis rasa
Hingga robohnya bangunan budaya
Beberapa hari lalu, saya meninggalkan kota
Dengan kokoh niat menuju kampung kita
Pulang kampung adalah perjalanan menempuh makna
Menyapa damai dan bersenggama dengan bahagia
Tapi kawan, kini kita dapat apa dari bahasa itu, “pulang kampung”
Siapa yang akan membimbing kita menuju kampung
Menuju bahasa yang tak biasa, dua kata yang siapapun ia
Pasti mengenalnya, berdamai dengannya…
Alam dan manusia, mungkin akan sia-sia
Lihat saja pulau-pulau bersejarah itu
Atau pantai-pantai yang penuh kenangan di situ
Ditebang, digusur, dikeruk, dikotori
Tanpa penghormatan dan kemuliaan
Tanpa belas kasih kemanusiaan
Lihat pula seorang ibu tua di bawah terik itu
Menggendong anaknya dan mengais rejeki di tebing-tebing batu
Sedang di samping kiri dan kanan mereka, berdiri rumah-rumah ber-AC
Pulang kampung kini bukan lagi bahasa kita
Kata-kata itu bagai sembilu
Bagai angin lalu
Yang menusuk-nusuk qalbuku
Saya bernasib pilu, berlapis luka, dan dikepung duka
Sepanjang mata dan rasa memandang, hanya pemandangan miris
Bila dahulu modal kampung adalah keikhlasan dan kekeluargaan
Kini dirubah jadi transaksi untung rugi
Dan mengundang petaka
Maka dengan puisi ini saya bersaksi: bahwa sejarah dan budaya
Adalah jati diri umat manusia, hakekat semesta raya
Bila hilang salah satu, hilang seluruhnya
Sungguh kawan, ini hari saya tak punya tenaga untuk pulang kampung…
Apakah dan Siapakah yang mesti di selamatkan?
Kampungkah?
Kotakah?
Manusiakah?
Atau alam?